Featured

0 MENUNTUT ILMU TIDAK BISA INSTANT


Zaman modern menuntut kita serba cepat. Tak heran jka produk-produk yang menawarkan cara cepat untuk mencapai sesuatu selalu laris. Dari makanan instant hingga cara untuk memahami agama secara instant pun hadir. Promosi yang bom bastis  kerap membuat orang tertarik meski mereka buta akan hakikatnya.
Belakangan ini orang banyak tersendak dengan penemuan aktivitas otak tengah. Konon menurut para pengiatnya, jika seseorang mampu mengaktifkan otak tengahnya ia akan melakukan aktivitas dengan lebih cepat. Saking hebatnya, seseorang bisa membaca, memasak, dan mewarnai dengan mata tertutup.
Bagi para penuntut  ilmu tentu saja hal ini akan sangat memudahkannya. Namun tanda tanya besarnya, apakah ilmu yang sangat mulia ini bisa dicapai dengan instant?
Fakta sejarah berkata tidak. sebab, ulama-ulama terdahulu dengan tingkat kecerdasan yang tinggi tidak ada menuntut ilmu secara cepat. Mereka bahkan seumur hidupnya mengabdikan diri untuk menuntut ilmu. Bahkan pisah satu tempat ke tempat yang lain. Menghabiskan umurnya berpuluh tahun untuk menuntut ilmu.
Dikatakan kepada Imam Ahmad, seorang menuntut ilmu pada guru saja yang memiliki ilmu yang banyak atau dia pergi bertualang menuntut ilmu. Ahmad menjawab, “dia bertualang dan menulis dan mendengar dari para ulama di setiap kota”. Bahkan Musa  sendiri yang sudah jadi Nabi berjalan jauh untuk menuntut ilmu.( Fathul Bari)
Imam Bukhari membuat bab khusus tentang keluar menuntut ilmu . lalu beliau mencontohkan sahabat Jabir bin Abdullah. Sahabat dari kalangan Anshar ini pernah melakukan perjalanan selama satu bulan untuk mengambil satu Hadits dari Abdullah bin Unais. (Shohih Bukhari)
Dan kalau menujuk kepada Al-Qur’an, Allah pun menurunkan Al-Qur’an secara beransur-ansur. Padahal, siapa yang meragukan kecerdesan Nabi. Kalau Allah mau mengajar Nabi-Nya dengan cara instant pun pasti bisa. Namun, Allah memilih 23 tahun untuk mengajarkan Al-Qur’an. Waktu yang tertentu tidak singkat. Banyak hikmah di dalamnya. Tapi yang terpenting adalah proses panjang dalam menuntut ilmu adalah kemutlakan.
Proses sangatlah penting. Semakin melelahkan proses yang dilewati seseorang dalam menuntut ilmu, semakin banyak pula ilmu yang diberikan Allah padanya. Karenanya dalam satu wasiat Imam Syafi’i kepada para penuntut ilmu adalah harus bersabar dalam waktu yang panjang.
Menuntut ilmu adalah satu jalan mencari keridhaan Allah yang membutuhkan kesungguhan. Lalu dimanakah  letak kesungguhan itu jika kita justru ingin mencari ilmu dengan cara-cara cepat?
By: Saydina Selian
Read more

0 Hikmah dibalik musibah

1. Musibah sering didefinisikan dengan

كُلُّ مَا سَا ءَ الْمُؤْ مِنُ فَهُوَ مُصِيْبَةٌ

"Segala sesuatu yang membuat terkejut/sakit (fhisik, hati, pikiran) adalah musibah"


Sedangkan fitnah yang sering diartikan ujian bisa dalam bentuk hal-hal yang dianggap tidak menyenangkan seperti pengertian musibah, bisa juga dalam bentuk sesuatu yang menyenangkan, seperti materi, jabatan dan kedudukan maupun yang lainnya. Firman Allah dalam QS. Al-Anbiya ayat 35 dan QS. Al-Anfal ayat 25.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ. {الأنبياء : 35}.

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan." (QS. Al-Anbiya: 35).

قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَاتَّقُوا فِتْنَةً لاَ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ. {الأنفال : 25}.

"Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya." (QS. Al-Anfal: 25).


2. Musibah bisa dalam bentuk fhisik, materi/harta, perasaan bahkan juga agama /keyakinan; bisa juga bersifat individual bisa pula bersifat menyeluruh/bangsa.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأَمْوَالِ وَالأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ. {البقرة : 155}.

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakuta, kelaparan, kekurangan harta, jira dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar". (QS. Al baqarah: 155).

قال رسول الله s : ... وَ لاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَناَ فيِ دِيْنِناَ وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنيْاَ أَكْبَرَ هَمِّناَ وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْناَ مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا. .. {رواه الترمذى}.

"Dan janganlah Kau (Ya Allah) menjadikan musibah pada agama kami, dan janganlah Kamu menjadikan dunia sebagai tujuan terbesar kami dan sebagai puncak pengetahuan kami dan janganlah Kamu memberikan kekuasaan kepada kami orang yang tidak menyayangi kami." (HR. Tirmidzi).



3. Pelajaran/Hikmah dari Musibah

a. Peringatan dari Allah SWT karena banyaknya perilaku yang merusak yang dilakukan manusia (merusak akhlak, moral, pergaulan, lingkungan, dsb).

ظَهَرَ الْفَسَادُ فيِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ. {الروم : 41}

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari mereka (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)". (QS. Ar rum: 41).

قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ (30) وَمَا أَنْتُمْ بِمُعْجِزِينَ فيِ الأَرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ (31) . {الشورى : 30-31}

"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) (30). Dan kamu tidak dapat melepaskan diri (dari adzab Allah) di muka bumi, dan kamu tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak pula seorang penolongselain Allah"(31). (QS. Asy-Syuura: 30-31).


Dengan musibah tersebut diharapkan à manusia akan menyadari kekeliruannya dan memperbaiki prilakunya.

b. Ujian keimanan/kesabaran, sekaligus membersihkan dosa, mengangkat harkat derajat sesorang/sekelompok.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ s : أَ شَدُّ النَّاسِ بَلاَ ءً اْلاَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلاَ مْثَلُ فَا اْلاَ مْثَلُ يُبْتَلَ ألرَّ جُلُ عَلَى حَسْبِ دِيْنِهِ : فَإِنْ كَانَ فيِ دِيْنِهِ صُلْبًا أَ شَدَّ بَلاَ ءَهُ، وَإِنْ كَانَ فيِ دِيْنِهِ رَقَّةً اُبْتُلِيَ عَلَى قَدْرِ دِيْنِهِ، فَمَا يَبْرَ حُ الْبَلاَ ءُ بِا لْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى اْلاَ رْضِ، وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ . {رواه البخارى عن مسعود}

"Orang-orang yang paling banyak musibahnya ialah para Nabi, kemudian orang-orang yang berada di bawah mereka demikianlah seterusnya; seseorang itu diuji dengan musibah sesuai dengan ukuran agamanya. Apabila seseorang agamanya kuat, maka kuat pula ujian musibah yang menimpanya; dan apabila agamanya lemah, maka ia pun diuji dengan musibah yang sesuai dengan kadar agamanya. Musibah itu tetap terus mengincar hamba Allah, dan baru ia meninggalkannya (berjalan bebas) di muka bumi ini, manakala dosa-dosanya sudah habis (terkikis oleh musibah)." (HR. Bukhari dari Sa'ad).


Musibah ini sering terjadi menimpa pada orang-orang yang baik, saleh seperti para Nabi, Salafus-Sholeh, Ulama dan orang-orang yang sungguh-sungguh beriman à Musibah bisa diartikan salah satu bentuk kasih sayang dari Allah.

Semua musibah tersebut harus disikapi dengan sabar, tabah, ulet dan tahan uji serta sikap muhasabah/introspeksi.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا للهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157). {البقرة : 156- 157 }

"(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun (156) Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (157)." (QS. Al-Baqarah: 156-157).






Perbuatan-perbuatan yang mengundang musibah

1. Mendustakan ayat-ayat Allah

Mendustakan ayat-ayat Allah merupakan salah satu dosa yang mengundang bencana dan musibah:

قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. {الاعراف : 96}

"Jika kalau sekiranya penduduk statu negeri senantiasa beriman dan bertaqwa, pastilah akan Kami akan limpahkan bagi mereka pintu keberkatan dari langit dan bumi, namun apabila mereka mendustakan (ayat-ayat) Kami, maka Kami akan menyiksa mereka karena tingkah laku mereka itu." (QS. Al-A'raf: 96).


2. Kufur Nikmat

Kufur terhadap nikmat Allah akan mengundang adzab yang sangat dahsyat dari Allah SWT:

قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ. {إبراهيم : 7}.

"Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan: sungguh jika kamu mensyukuri nikmat-Ku, niscaya Aku akan tambah (nikmat) padamu, dan jika kamu kufur pada nikmat yang Aku berikan, niscaya adzab-Ku sangat dahsyat." (QS. Ibrahim: 7).


Kufur nikmat artinya semakin banyak nikmat Allah yang diterima semakin jauh pula dia dari Allah, kufur nikmat artinya juga mempergunakan nikmat pemberian Allah untuk kepuasan hawa nafsu, bukan buat hal-hal yang diridhai-Nya.

Al-Qur'an menggambarkan suatu negeri yang penuh dengan nikmat-Nya, akan tetapi karena penduduk negeri tersebut kufur terhadap nikmat Allah, maka negeri itupun akhirnya ditimpa bencana dan musibah:

قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَضَرَبَ اللهُ مَثَلاَ قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللهِ فَأَذَاقَهَا اللهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ . {النحل : 112}



"Dan Allah telah membuat suatu pereumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezki datang melimpah ruah dari segenap penjuru, tetapi (penduduk) nya kufur pada nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah menimpakan kepada mereka bahaya kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat." (QS. An-Nahl: 112).


3. Kemewahan

Gaya kehidupan Hedonisme yang hanya mengejar kemewahan materi, hidup glamour penuh gembira ria sepanjang hari dengan aneka ragam hiburan yang mengundang kemurkaan Allah dan menimbulkan bencana serta musibah yang menghancur leburkan suatu negeri. Sebagaimana Allah firman dalam Al-qur'an:

قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا. {الإسراء : 16}.

"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menta`ati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (QS. Al-Isra': 16).


4. Meninggalkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Mengabaikan Da'wah: Amar Ma'ruf (mengajak manusia kepada kebaikan), Nahi munkar (mencegah kamaksiatan) merupakan suatu hal yang menyebabkan kemurkaan Allah sehingga menimbulkan bencana dan musibah.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (78) كَانُوا لا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (79). {المائدة : 78-79}

"Dikutuki Allah orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa bin Mryam. Yang demikian itu karena kedurhakaan mereka dan tingkah laku mereka yang melampaui batas (78) Mereka tidak punya kepedulian untuk mencegah kemungkaran yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat." (79) (QS. Al-Maidah: 78-79).

5. Kedzaliman

Kedzaliman merupakan salah satu pemicu kemurkaan Allah SWT. Karena Allah sangat membenci kadzaliman.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَمَا كَانَ رَبُكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فيِ أُمِّهَا رَسُولاً يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِى الْقُرَى إِلاَّ وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ . {القصص : 59}

"Dan tidaklah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedzaliman." (QS. Al-Qashas: 59).


Kewajiban Menolong/Membantu Yang Terkena Musibah

Terlepas dari berbagai sebab tersebut di atas, kita wajib membantu orang yang mendapatkan musibah, baik bantuan dengan materi, tenaga, fikiran maupun do'a untuk meringankan beban mereka.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ s : تَرَى الْمُؤْمِنِيْنَ فيِ تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادُدِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذا اشْتَكَىْ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِر جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى. {رواه البخارى}.

“Rasulullah Saw. bersabda: “Engkau akan melihat orang-orang yang beriman dalam kasih sayang mereka, dalam kecintaan mereka dan dalam keakraban mereka antar sesamanya adalah bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggotanya merasakan sakit, maka sakitnya itu akan merembet ke seluruh tubuhnya, sehingga (semua anggota tubuhnya) merasa sakit, dan merasakan demam (karenanya)”. (HR. Bukhari).

Referensi @ http://eddysyahrizal.blogspot.com/2008/09/hikmah-dibalik-musibah.html
Read more

0 Jadilah Mukmin yang Berpendirian

SYEIKH Muhammad al Ghazali pernah berkata dalam bukunya “Khuluqul Muslim” mengatakan; “Apabila iman telah menyatu jiwa, hanya Allah yang paling berkuasa, segala yang maujud ini hanya makhluq belaka (mumkinul wujud). Keyakinan yang kuat dan tumbuh berkembang dengan subur, laksana mata air yang tidak pernah kering sumbernya, yang memberikan dorongan kepada pemiliknya semangat pengabdian, ibadat secara terus-menerus, mampu memikul tanggngjawab dan menanggulangi kesulitan dan bahaya yang dihadapinya. Pengabdian itu dilakukan tak mengenal lelah sampai menemui ajal tanpa ada rasa takut dan cemas.”

Orang mukmin adalah sosok manusia yang memiliki prinsip hidup yang dipeganginya dengan erat. Ia berkerja sama dengan siapapun dalam kebaikan dan ketakwaan. Jika lingkungan sosialnya mengajak kepada kemungkaran, ia mengambil jalan sendiri.

Di tengah dunia yang hanya mememtingkan egoisme, sedikit kita temukan orang-orang mukin yang bisa menjaga diri. Sebaliknya, justru kita banyak temukan kumpulan orang mukin yang tak memiliki harga diri.

Sekedar contoh saja. Di saat dunia Barat mengkampanyekan budaya dan nilai-nilai idiologinya, kaum Muslim tidak terasa juga ikut termakan dan mengikuti jejaknya. Semua hal dalam kehidupan selalu diukur dan dinilai berdasarkan Hak Asasi Manusia (HAM). Karena Barat begitu membenci poligami dan membenturkannya dengan HAM, lantas para Muslimah kita juga ikut tertular virusnya. Mereka lupa, al-Quran, membolehkannya (kata membolahkan, bukan berarti menganjurkan).

Bahkan penolak keras apa yang dibolehkan al-Quran ini bukan orang Yahudi atau orang Nasrani. Justru mereka adalah para aktivis, mahasiswa dan ibu-ibu berjilbab.

Ketika Barat membagi-bagi kelompok menjadi dua; Satu kelompok disebutnya "moderat" (yang berarti selalu menerima ide-ide Barat), Satunya disebut kelompok "fundamentalis" (yang selalu menolak ide Barat), umat Islam-pun ramai-ramai mengutinya.

Jangan heran, jika muncul tokoh-tokoh Islam di sekitar kita seolah berebut kata “moderat” dengan maksud agar tak dituduh Barat sebagai kelompok fundamentalis. “Oh, kalau kami ini moderat, tak seperti mereka.”

Ada semacam rasa bangga menyebut dirinya 'moderat', seolah ingin sekalian memojokkan saudara yang lain. Bahkan mereka yang suka berebut kata itu juga tak pernah menyadari. Atas hak dan atas dasar apa seseorang menyebut yang lain radikal atau fundamenlis? Bahkan seseorang ketika menuduh seenaknya pihak lain, pada dasarnya ia adalah ‘radikal’ dan 'fundamentalis'. Orang Muslim seperti ini ibarat dua orang bersaudara yang sedang menghadapi hewan buas di tengah hutan. Bukannya saling bekerjasama dengan saudaranya melawan binatang buas, ia justru mendorong punggung saudaranya di depan si hewan agar dia bisa lari dari terkaman. Itulah cerminan sebagaian dari wajah saudara-saudara kita.

Apalagi di tengah zaman penuh fitnah seperti ini. Orang berjibab, orang yang rajin ke masjid, rajin ta’lim, mengamalkan sunnah, berjenggot, menggunakan simbul-simbul Islam, maka akan mudah baginya mendapat gelar “radikal” atau bahkan cepat-cepat dituduh “teroris”. Jika tak punya pendirian teguh pada agama ini, mungkin banyak orang akan melepaskan kemuslimannya.

Seorang mukmin di zaman seperti ini, akan banyak godaan iman. Jika tidak istiqomah, mudah baginya 'menjual diri’. Tak sedikit para remaja putri atau para Muslimah melepaskan jilbab dan terpaksa membuka auratnya hanya karena membela pekerjaanya. Tak sedikit pula karyawan pria yang melupakan kewajiban sholat dan mengabaikan ibadahnya karena membela pekerjaan atau takut kehilangan jabatan.

Prinsip Hidup

Rasulullah Muhammad sering menasehati agar kita menjadi seorang yang memiliki pendirian teguh pada agama ini.

Orang mukmin yang sejati mempunyai harga diri, tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang hina. Apabila ia terpaksa melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas. Muk,im yang punya harga diri, ia juga malu membuka aib saudaranya atau jika tau kekurangan saudaranya. Ia malu mempertontonkan di hadapan orang banyak jika aib itu diketaui orang lain.

Seorang mukmin yang memiliki harga dini, ia pasti berani menegakkan kebenaran sekalipun rasanya pahit. Ia rela mendapat cacian, hinaan atau stigma-stigma buru sekalipun. Karena ia tak memburu urusan jangka pendek dan kenikmatan sesaat (mata’uddunya). Seorang mukmin teguh pendirianya, bagaikan batu karang di tengah lautan. Tegar dari amukan badai dan hempasan gelombang serta pasang surut lautan.

Kekuatan jiwa seorang muslim, terletak pada kuat dan tidaknya keyakinan yang dipegangnya. Jika akidahnya teguh, kuat pula jiwanya. Tetapi jika aqidahnya lemah, lemah pula jiwanya. Ia tinggi karena menghubungkan dirinya kepada Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi.

Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata: Rasulullah saw memberikan keputusan terhadap sebuah kasus antara dua orang laki-laki. Ketika kedua-duanya sudah pulang, yang kalah dalam sidangnya ia berkata : "Hasbiyallahu wa ni’mal wakil" (Allahlah yang mencukupkan daku, dan Dialah sebaik-baik tempat berlindung).

Orang mukmin adalah sosok manusia yang memiliki prinsip hidup yang dipeganginya dengan erat. Ia berkerja sama dengan siapapun dalam kebaikan dan ketakwaan. Namun jika lingkungan sosialnya mengajak kepada kemungkaran, ia akan mengambil jarak bahkan akan “keluar” dari lingkungan itu. Bukan sebaliknya, ikut arus. Seorang mukmin sejati dia akan tetap istiqomah dan amanah, meski seluruh lingkungannya tercemah ‘korupsi’.

Rasulullah melarang orang Muslim tak tak memiliki pendirian. “Saya ikut bersama-sama orang, kalau orang-orang berbuat baik, saya juga berbuat baik, dan kalau orang-orang berbuat jahat sayapun berbuat jahat. Akan tetapi teguhkanlah pendirianmu. Apabila orang-orang berbuat kebajikan, hendaklah engkau juga berbuat kebajikan, dan kalau mereka melakukan kejahatan, hendaknya engkau menjauhi perbuatan jahat itu.” (HR. Turmudzi).

Karenanya, agar hidup kita senantiasa terus dinaungi cahaya Allah dan terus teguh pendirian, maka iman adalah sumber energi yang senantiasa memberikan kekuatan yang tidak ada habis-habisnya. Iman adalah gelora yang mengalirkan inspirasi kepada akal pikiran, maka lahirlah bashirah (mata hati). Sebuah pandangan yang dilandasi oleh kesempurnaan ilmu dan keutuhan keyakinan.

Sebab iman adalah cahaya yang menerangi dan melapangkan jiwa kita, dan melahirkam taqwa. Sikap mental tawadhu (rendah hati), wara‘ (membatasi konsumsi dari yang halal), qona’ah (puas dengan karunia Allah), yaqin (kepercayaan yang penuh atas kehidupan abadi). Iman adalah bekal yang menjalar di seluruh bagian tubuh kita, maka lahirlah harakah. Sebuah gerakan yang terpimpin untuk memenangkan kebenaran atas kebatilan, keadilan atas kezaliman, kekauatan jiwa atas kelemahan. Iman menentramkan perasaan, mempertajam emosi, menguatkan tekat dan menggerakkan raga.*

Penulis kolumnis www.hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar
Read more

0 Mengenang Kejayaan Tradisi Keilmuan Islam

Peradaban Islam pernah mencapai masa keemasan. Itu fakta sejarah yang tak bisa dimungkiri siapapun. Hampir tujuh abad lamanya, mulai 750-1500 M 0-700H, bendera kejayaan Islam terus berkibar.

Sejak deklarasi Islam oleh Rasulullah saw sampai pada kejatuhan Granada di Sepanyol, peradaban Islam memberi kontribusi yang tidak dapat dilupakan oleh peradaban moden kini.

Dalam rentang waktu itu, lahir ratusan ilmuwan muslim yang melahirkan beragam teori yan mengilhami kemunculan renaissance di Eropah. Al-Khawarizmi (matematik), Jabir Ibnu Hayyan (kimia), Ibnu Khaldun (sosiologi dan sejarah), Ibnu Sina (perubatan), Ar-Razi (perubatan), Al-Biruni (fizik), Ibnu Battutah (pengemberaan) adalah contoh nama-nama yang dapat dikedepankan.

Bagaimana tidak signifikan sumbangan Islam pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Al-Khawarizmi, misalnya, menemukan angka nombor 0 yang pada zaman sebelumnya (China, India dan Yunani) belum diketahui.

Huraian beragam teori sosiologi dan sejarah yang dikemukakan Ibnu Khaldun dalam kitabnya Mukadimah sampai sekarang tetap aktual dan menjadi referensi sosiologi moden. Belum lagi berbagai teori perubatan yang dikemukakan Ar-Razi tentang penyakit cacar serta Ibnu Sina tentang pembiusan dan pembedahan.

Berbeza dengan tradisi Eropah yang pernah mengalami beberapa kejadian tragis akibat bertentangan doktrin agamanya, tradisi keilmuan Islam justeru berangkat dari kecintaannya pada agama.

Dalam rakaman sejarah Islam, peristiwa yang menimpa Galileo Galilei, Bruno Giordano, Nicholas Copernicus, Miguel Serveto tidak pernah terjadi. Justeru Islam menempatkan para ilmuwan dalam maqam yang tinggi (lihat Surah Az-Zariyat, ayat 11).

Para ilmuwan Islam meyakini bahawa tauhid menjadi sumber inspirasi dan aspirasi untuk berekspresi. Bahawa semua yang ada di alam adalah hukum Tuhan (sunnatullah) yang objektif, universal dan mutlak adanya.

Kerana keyakinan inilah, lumrah bila sesudah atau menghadapi masalahh dalam penelitiannya dikembalikan kepada Sang Khaliq. Ibnu Sina, contohnya, akan pergi ke masjid, solat dan berdoa meminta petunjuk Allah berkenaan dengan hasil penelitian perubatannya.

Semua karya dan penelitian Ibnu Sina berhujung pada kepasrahan total kepada Allah. Sikap ini juga dimiliki Al-Khawarizmi, Al-Biruni dan sebagainya. Ini menunjukkan bahawa di kalangan ilmuwan muslim, keterkaitan dengan Tuhannya adalah kemutlakan.

Segala kesimpulan objektif hasil penelaahan terhadap fenomena alam diawali dan dikembalikan pada sumbernya, al-Quran dan hadis. Bagi ilmuwan Islam, semua penelitian ilmiah adalah bukti untuk memperkuat keyakinan terhadap ayat Tuhan yang tersurat dan tersirat (diri dan alam semesta).

Kecintaan para ilmuwan Islam pada al-Quran dan tradisi nabi, membuat mereka bukan hanya fasih dalam suatu bidang keilmuan. Ibnu al-Haitham, misalnya, selain dikenal sebagai penemu optik, ia adalah ahli matematik dan astronomi. Al-Biruni tidak hanya terkenal dengan kecermatannya dalam fizik, tetapi juga ahli dalam metafizik.

"Ilmu pengetahuan Islam menjadi ada kerana perkahwinan antara semangat yang memancar dari wahyu al-Quran dan ilmu-ilmu yang berasal dari pelbagai tradisi sebelumnya. Ilmu dalam Islam menjadi sumber rohani bagi kesinambungan peradaban di masa akan datang," tegas cendekiawan muslim asal Iran, Sayyed Hussein Nasr.

Sifat kosmopolitan peradaban Islam bermula dari watak wahyu yang universal. Hal ini menyebabkan Islam menciptakan sebuah peradaban pertama di dalam sejarah umat manusia, katanya.

Kejayaan Islam lahir ketika Eropah yang kini memegang kendali peradaban berada dalam suasana "The Dark Ages" atau abad kegelapan. Satu keadaan yang hegemoni gereja sangat mendominasi kehidupan masyarakat Eropah.

Dalam kurun beberapa abad praktis dunia Eropah tidak tersentuh oleh perkembangan keilmuan yang signifikan. Makanya, masyarakat Eropah kini lebih suka menyebut abad itu dengan abad pertengahan, ketimbang abad kegelapan yang terasa lebih menohok secara psikologis.

Berlawanan dengan itu, puncak peradaban Islam dicapai pada masa Bani Abbasiyah di era Khalifah al-Makmun ketika ia mendirikan Darul Hikam atau akademi ilmu pengetahuan pertama di muka bumi ini yang sekaligus menjadi pusat penelitian, pengembangan dan perpustakaan tentang ilmu-ilmu keIslaman.

Kegemilangan peradaban Islam tidak berhenti di Baghdad. Ia menyebar kedaratan Eropah, tepatnya di Andalusia dan Granada, Sepanyol sampai 1492 M.

Ilmu pengetahuan merupakan sumbangan terpenting kebudayaan Arab (Islam) kepada dunia moden, tetapi buahnya lambat masak. Barulah setelah kebudayaan Arab Sepanyol tenggelam kembali ke dalam kegelapan raksasa yang dilahirkannya bangkit keperkasaannya.

"Bukan hanya ilmu pengetahuan yang menghidupkan kembali Eropah. Pengaruh-pengaruh lain dan beraneka warna memancarkan sinar pertama dari peradaban Islam kepada kehidupan Eropah," jelas seorang Guru Besar Bahasa dan Sastera India, A Beriedale Keith.

Kecemerlangan peradaban Islam mulai surut dan mencapai titik nadir terendahnya ketika bangsa Mongol menghancurkan kota Baghdad. Semua khazanah peradaban hilang, buku-buku dibakar dan dihanyutkan ke dalam sungai.

Dalam sebuah ilustrasi, keganasan bangsa Mongol terhadap peradaban Islam dilukiskan dengan memerah dan membirunya warna air sungai-sungai di sekitar kota Baghdad akibat tinta dan darah para ilmuwan Islam yang mengalir di air sungai Kota Seribu Satu Malam itu.

Sebelum semua peninggalan dan penemuan berharga peradaban manusia dihancurkan bangsa Mongol, untunglah bangsa Eropah sudah banyak yang mempelajari kemajuan ilmu pengetahuan modern yang dirintis orang Islam.

Dua ilmuwan Eropah yang tercatat adalah Roger dan Francis Bacon belajar ke Baghdad untuk mempelajari perkembangan keilmuan yang dirintis ilmuwan Islam. Perlahan namun pasti cahaya peradaban Islam mulai redup.

Cahayanya beralih ke Eropah. Berbagai teori yang ditemukan ilmuwan Islam kemudian dilanjutkan oleh para ilmuwan Eropah yang mulai berkuncup, kemudian berkembang sampai sekarang.
 
http://tamanulama.blogspot.com/
Read more

0 Mengenang Kejayaan Tradisi Keilmuan Islam

Peradaban Islam pernah mencapai masa keemasan. Itu fakta sejarah yang
takbisa dipungkiri siapapun. Hampir tujuh abad lamanya,
mulai 750-1500 M 0-700H, bendera kejayaan Islam terus berkibar.

Sejak deklarasi Islam oleh Rasulullah Muhammad Saw sampai pada
kejatuhan Granada di Spanyol, peradaban Islam memberi kontribusi yang tidak
bisa dilupakan oleh peradaban modern kini.

Dalam rentang waktu itu, lahir ratusan ilmuwan muslim yang melahirkan
beragam teori yan mengilhami kemunculan renaissance di Eropa. Al Khowarizmi
(matematika), Jabir Ibn Hayyan (kimia), Ibnu Khaldun (sosiologi dan
sejarah), Ibnu Sina (kedokteran), Ar Razi (kedokteran), Al Biruni (fisika),
Ibnu Batutah (antropologi) adalah contoh nama-nama yang bisa dikedepankan.

Bagaimana tidak signifikan sumbangan Islam pada perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi (iptek) saat ini. Al Khowarizmi, misalnya,
menemukan angka nol (0) yang pada zaman sebelumnya (China, India, dan
Yunani) belum diketahui.

Uraian beragam teori sosiologi dan sejarah yang dikemukakan Ibn Khaldun
dalam Magnum Opus Mukadimah sampai sekarang tetap aktual dan menjadi
referensi sosiologi modern. Belum lagi berbagai teori kedokteran yang
dikemukakan Ar razi tentang penyakit cacar, serta Ibnu Sina tentang
pembiusan dan pembedahan.

Berbeda dengan tradisi Eropa yang pernah mengalami beberapa kejadian tragis
akibat bertentangan doktrin agamanya, tradisi keilmuan Islam justru
berangkat dari kecintaannya pada agama.

Dalam rekaman sejarah Islam, peristiwa yang menimpa Galileo Galilei, Bruno
Giordano, Nicholas Copernicus, Miguel Serveto tidak pernah terjadi. Justru
Islam menempatkan para ilmuwan dalam maqom yang tinggi (lihat QS Ad Dzariyat
ayat 11).

Para ilmuwan Islam meyakini bahwa tauhid menjadi sumber inspirasi dan
aspirasi untuk berekspresi. Bahwa semua yang ada di alam adalah hukum Tuhan
(sunnat ul-Lah) yang objektif, universal, dan mutlak adanya.

Karena keyakinan inilah, lumrah bila sesudah atau menghadapi masalahh dalam
penelitiannya dikembalikan kepada Sang Khalik. Ibn Sina, contohnya, akan
pergi ke masjid, shalat, dan berdoa meminta petunjuk Allah berkenaan dengan
hasil penelitian kedokterannya.

Semua karya dan penelitian Ibn Sina berujung pada kepasrahan total kepada
Allah (al Islam). Sikap ini juga dimiliki Al Khowarizmi, Al Biruni, dan
sebagainya. Ini menunjukkan bahwa di kalangan ilmuwan muslim, keterkaitan
dengan Tuhannya adalah kemutlakan.

Segala kesimpulan objektif hasil penelaahan terhadap fenomena alam diawali
dan dikembalikan pada sumbernya, Al-Qur'an dan hadits. Bagi ilmuwan Islam,
semua penelitian ilmiah adalah bukti untuk memperkuat keyakinan terhadap
ayat Tuhan yang tersurat (Al-Qur'an-hadits) dan tersirat (diri dan alam
semesta).

Kecintaan para ilmuwan Islam pada Al-Qur'an dan tradisi nabi, membuat mereka
bukan hanya fasih dalam suatu bidang keilmuan. Ibnu Al Haitham, misalnya,
selain dikenal sebagai penemu optik, ia adalah ahli matematika dan
astronomi. Al Biruni tidak hanya terkenal dengan kecermatannya dalam
fisika, tetapi juga ahli dalam metafisika.

"Ilmu pengetahuan Islam menjadi ada karena perkawinan antara semangat yang
memancar dari wahyu Al-Qur'an dan ilmu-ilmu yang berasal dari pelbagai
tradisi sebelumnya. Ilmu dalam Islam menjadi sumber rohani bagi
kesinambungan peradaban di masa akan datang," tegas cendekiawan muslim asal
Iran Sayyed Hussein Nasr.

Sifat kosmopolitan peradaban Islam bermula dari watak wahyu yang universal.
Hal ini menyebabkan Islam menciptakan sebuah peradaban pertama di dalam
sejarah umat manusia, katanya.

Kejayaan Islam lahir ketika Eropa yang kini memegang kendali peradaban
berada dalam suasana "The Dark Ages" atau abad kegelapan. Satu keadaan yang
hegemoni gereja sangat mendominasi kehidupan masyarakat Eropa.

Dalam kurun beberapa abad praktis dunia Eropa tidak tersentuh oleh
perkembangan keilmuan yang signifikan. Makanya, masyarakat Eropa kini lebih
suka menyebut abad itu dengan abad pertengahan, ketimbang abad kegelapan
yang terasa lebih menohok secara psikologis.

Berlawanan dengan itu, puncak peradaban Islam dicapai pada masa Bani
Abbasiyah di era khalifah Al Ma'mun ketika ia mendirikan Dar ul-Hikam atau
akademi ilmu pengetahuan pertama di muka bumi ini yang sekaligus menjadi
pusat penelitian, pengembangan, dan perpustakaan tentang ilmu-ilmu
keislaman.

Kegemilangan peradaban Islam tidak berhenti di Baghdad. Ia menyebar ke
daratan Eropa, tepatnya di Andalusia dan Granada, Spanyol sampai 1492 M.

Ilmu pengetahuan merupakan sumbangan terpenting kebudayaan Arab (Islam)
kepada dunia modern, tetapi buahnya lambat masak. Barulah setelah kebudayaan
Arab Spanyol tenggelam kembali ke dalam kegelapan raksasa yang dilahirkannya
bangkit keperkasaannya.

"Bukan hanya ilmu pengetahuan yang menghidupkan kembali Eropa.
Pengaruh-pengaruh lain dan beraneka warna memancarkan sinar pertama dari
peradaban Islam kepada kehidupan Eropa," jelas seorang Guru Besar Bahasa dan
Sastra India A Beriedale Keith.

Kecemerlangan peradaban Islam mulai surut dan mencapai titik nadir
terendahnya ketika bangsa Mongol menghancurkan kota Baghdad. Semua khazanah
peradaban hilang, buku-buku dibakar dan dihanyutkan ke dalam sungai.

Dalam sebuah ilustrasi, keganasan bangsa Mongol terhadap peradaban Islam
dilukiskan dengan memerah dan membirunya warna air sungai-sungai di sekitar
kota Baghdad akibat tinta dan darah kaum ilmuwan Islam yang mengalir di air
sungai Kota Seribu Satu Malam itu.

Sebelum semua peninggalan dan penemuan berharga peradaban manusia
dihancurkan bangsa Mongol, untunglah bangsa Eropa sudah banyak yang
mempelajari kemajuan ilmu pengetahuan modern yang dirintis orang Islam.

Dua ilmuwan Eropa yang tercatat adalah Roger dan Francis Bacon belajar ke
Baghdad untuk mempelajari perkembangan keilmuan yang dirintis ilmuwan Islam.
Perlahan namun pasti cahaya peradaban Islam mulai redup.

Cahayanya beralih ke Eropa. Berbagai teori yang ditemukan ilmuwan Islam
kemudian dilanjutkan oleh para ilmuwan Eropa yang mulai berkuncup, kemudian
berkembang sampai sekarang. (Dari berbagai sumber)

 Dudi Sabil Iskandar/P-8
http://neofirman.wordpress.com/ 
Read more

0 Pentingnya Pendidikan Islam Terhadap Pasang Surutnya Iptek

Penelusuran terhadap perkembangan peradaban dan kemajuan Islam dalam sejarahnya yang cukup panjang akan menghadapi problematika sendiri ketika tidak mengapresiasikan teori-teori dan eksperimen pendidikan Islam, sebab pendidikan merupakan elan vital dalam transformasi peradaban umat manusia. Pendidikan Islam menciptakan kekuatan-kekuatan yang mendorong untuk mencapai tujuan sekaligus menentukan perencanaan dan arah tujuan sebuah perkembangan. Dengan demikian, dinamika sebuah peradaban mau tidak mau akan melibatkan peranan pendidikan, walaupun dalam kapasitas yang sederhana. Maka tidak berlebihan kiranya, kalau ada sebuah asumsi yang muncul kepermukaan bahwa untuk melihat kemajuan sebuah Negara harus dilihat bagaimana dinamika perkembangan dunia pendidikannya.

Sejalan dengan itu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai manifestasi dari hasil kemampuan berfikir dan nalar manusia berakibat pada perubahan sosial yang menyangkut bidang kehidupan yang luas, tidak saja perubahan dalam tuntutan ekonomi, komunikasi, politik dan lain sebagainya yang selalu aktual bersama dinamika kehidupan. Tapi sektor pendidikan juga ikut bersama-sama dirancang untuk pembangunan sumber daya manusia seutuhnya, karena dunia pendidikan merupakan sebuah usaha yang sengaja diadakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk membantu anak didik sebagai bagian dari sumberdaya manusia bagi Negara Indonesia masa depan yang memerlukan rancang bangunan secara jelas dan mampu memberikan fasilitas menuju kedewasaan seorang anak didik untuk lebih berkembang dan berkualitas.
Pada dasarnya pendidikan mempunyai arti penting bagi manusia dalam mencapai hidupnya sebagai homo education (manusia pendidikan), manusia memerlukan bantuan dan bimbingan untuk dapat mengembangkan potensinya agar dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal serta mengarah pada tujuan hidup yang hendak dicapai. Untuk mencapai semuanya itu diperlukan proses pendidikan, baik yang bersifat formal, informal atau non formal sebagai rangkaian proses pemberdayaan potensi dan kompetensi individu untuk menjadi manusia yang berkualitas yang berlangsung sepanjang hayat. Proses ini dilakukan tudak sekedar untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat menggali, menemukan dan menempa potensi yang dimiliki, tapi juga untuk mengembangkannya dengan tanpa menghilangkan karakteristik masing-masing sebagai manusia yang beradab. Sebab manusia yang berkualitas adalah manusia yang dapat menggunakan potensi fisik dan non fisiknya untuk melihat dan merespon lingkungan sosialnya. Semakin banyak manusia yang berkualitas dalam makna dapat melihat persoalan yang objektif dan itu kemudian dijadikan landasan untuk mengatasi persoalan, semakin dapat dipastikan bahwa masyarakat kita berjalan secara beradab.
Namun demikian, munculnya globalisasi juga telah menambah masalah baru bagi dunia pendidikan. Bagaimana tidak, di satu sisi sistem pendidikan yang diterapkan harus berimplikasi pada pemupukan nasionalisme peserta didik. Namun di sisi lain hajat pemenuhan kebutuhan pendidikan global harus ditunaikan, agar para lulusannya dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global. Bahkan dewasa ini, dalam dunia pendidikan berkembang sebuah pemikiran tentang pentingnya merubah paradigma pendidikan, karena pendidikan yang ada sekarang dipandang belum mampu mengantarkan murid menjadi manusia yang sesungguhnya. Pendidikan yang seharusnya diartikulasikan sebagai upaya memanusiakan manusia, justru mengarah pada dehumanisasi (tidak berprikemanusiaan), sehingga manusia seperti kehilangan arah dan tujuan hidup, serta semakin teralienasi dari hakikat kemanusiaannya, karena pendidikan hanya dimaknai tidak lebih hanya sebagai transmisi pengetahuan, maka murid gagal menerapkan pengetahuannya di tingkat praksis kehidupan nyata.
Oleh karena itu, sangat penting untuk selalu mempertahankan pendidikan Islam, apalagi di zaman era globalisasi sekarang ini yang selalu mengombang ambingkan arah dan tujuan manusia dalam kehidupannya. Jika sistem pendidikan tidak berlandaskan pada iman dan ilmu, maka tidak akan mampu merealisasikan kebahagiaan hidup manusia dengan sempurna, karena Islam tampil sebagai suatu bentuk intelektual dan spiritual baru yang merupakan hasil perpaduan antara al-Qur’an dan peradaban-peradaban manusia, sementara ilmu dan iman menjadi proses utamanya dalam pendidikan Islam. Islam sangat berhubungan erat dengan pendidikan. Hubungan antara keduanya bersifat organis fungsional, pendidikan berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan Islam, dan Islam menjadi kerangka dasar pengembangan pendidikan Islam, serta memberikan sistem nilai untuk mengembangkan berbagai pemikiran tentang pendidikan Islam.
Dengan sistem seperti ini, pendidikan akan mampu merealisasikan ketenangan dan kemantapan jiwa anak didik serta menghormati kepribadian secara individual. Islam sebagai ajaran yang datang dari Allah SWT, sesungguhnya merefleksikan nilai-nilai pendidikan yang mampu membimbing dan mengarahkan manusia, sehingga menjadi manusia yang sempurna. Islam sebagai agama yang universal juga telah memberikan pedoman hidup bagi manusia menuju kehidupan bahagia yang pencapaiannya bergantung pada pendidikan, karena pendidikan merupakan kunci penting untuk membuka jalan bagi kehidupan manusia.
Read more

0 Hindari Dua Kejahilan Membahayakan

Sebelum Islam hadir, masyarakat Arab dikenal sebagai masyarakat jahiliyah. Ibnu Mansur dalam karyanya ”Lisanul Arab”, membagi kejahilan masyarakat arab menjadi dua kelompok.
Pertama: Kejahilan yang ringan. Yaitu kurangnya ilmu tentang sesuatu yang seharusnya diketahui. Mereka belum memperoleh informasi tentang kebenaran (al-Haq) sehingga tidak memiliki pilihan lain kecuali melakukan apa yang mereka ketahui sebagai suatu kebenaran.
Contoh riil di zaman Rasulullah yaitu kasus seorang Badui (Arab Gunung) yang kencing di dalam masjid. Menyaksikan hal itu, Umar marah dan bermaksud memukul serta mengusirnya. Tetapi Rasulullah mencegahnya dan meminta para sahabat mengambil air di ember kemudian menyiramnya hingga bersih.
Kedua: Kejahilan yang berat. Yaitu keyakinan yang salah dan bertentangan dengan fakta atau realitas. Mereka meyakini sesuatu yang berbeda dengan sesuatu itu sendiri. Melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dengan yang seharusnya. Padahal telah sampai kepada mereka informasi tentang kebenaran (al-Haq) dengan hujjah yang meyakinkan dan dari sumber-sumber yang terpercaya. Juga telah datang para utusan Allah serta para penyeru ke jalan yang lurus, tetapi mereka berpaling.
Kasus penolakan Walid bin Mughirah dan para pembesar Qurays tentang kebenaran Nabi Muhammad serta al-Qur’an, dapat dijadikan sebagai contohnya.
Walid bin Mughirah adalah seorang pakar dan cendikiawan Qurays yang sangat disegani. Ia penasaran mendengar masyarakat membicarakan Muhammad dan ajaran yang dibawanya. Suatu hari, ia datang ke tempat tinggal Nabi Saw.
Waktu itu beliau tengah melaksanakan shalat dan membaca al-Qur’an. Walid pun mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang dibaca Nabi Saw. Setelah selesai, pulanglah ia menemui kaumnya dari Bani Mahzum. Walid berkata: “Demi Allah, baru saja  aku telah mendengarkan perkataan-perkataan Muhammad. Menurutku itu bukan perkataan manusia biasa dan juga bukan dari Jin. Demi Allah, sungguh perkataannya sangat manis, susunan katanya sangat indah, buahnya sangat lebat dan akarnya sangat subur. Sungguh perkataannya sangat agung dan tidak ada yang mampu menandingi keagungannya”.
Karena hal ini, orang-orang Qurays melaporkan Walid kepada Abu Jahal. Mereka mengatakan Walid telah keluar dari agamanya, dan pasti akan diikuti oleh orang-orang Qurays lainnya.
Setelah mendengar penjelasan tersebut, Abu Jahal berkata: ”Aku akan membereskannya”. Lalu ia mendatangi Walid dan duduk di sampingnya dengan perasaan penuh kecemasan.
Walid berkata: ”Mengapa engkau seperti orang ketakutan, wahai anak saudaraku?” Abu Jahal menjawab: ”Bagaimana saya tidak ketakutan wahai paman, orang-orang Qurays pada mengumpulkan harta benda mereka untuk diberikan kepadamu, karena engkau telah mendatangi Muhammad”.
Mendengar hal itu, Walid merasa terhina dan marah. Ia berkata: ”Bukankah mereka tahu bahwa aku memiliki harta dan anak-anak lebih banyak dibandingkan mereka semua?” Abu Jahal menjawab: ”Jika demikian, sudilah kiranya paman mengatakan tentang Muhammad yang menunjukkan bahwa engkau sebenarnya mengingkari dan membencinya.
Sampaikanlah wahai paman sikap itu dihadapan kaummu!”
Walid bersama Abu Jahal kemudian mendatangi orag-orang Qurays. Sesampai di hadapan mereka, Walid berkata: ”Wahai kaumku, kalian mengatakan bahwa Muhammad itu gila. Apakah kalian pernah melihat Muhammad berbicara sendiri?” Mereka menjawab: ”Tidak, demi Allah!”.
Walid melanjutkan: ”Kalian mengatakan bahwa Muhammad itu adalah dukun (kahin). Apakah kalian pernah melihat Muhammad melakukan praktek perdukunan?” Merekapun menjawab: ”Tidak pernah!”.
Walid bertanya lagi: ”Kalian mengatakan bahwa yang dikatakan Muhammad itu adalah syair (puisi). Apakah kalian pernah melihat Muhammad membuat syair?” Mereka menjawab: ”Juga tidak”.
Lagi Walid bertanya untuk ke sekian kalinya: ”Kalian mengatakan bahwa Muhammad itu pendusta. Apakah kalian pernah mengetahui Muhammad berdusta?” Mereka juga menjawab: ”Demi Allah, tidak pernah sekalipun!”. ”Lalu, kalau demikian apakah yang diucapkan oleh Muhammad itu?” Walid terdiam dan kebingungan. Ia minta untuk diberikan kesempatan untuk berfikir dan menyendiri.
Beberapa saat kemudian, Walid bin Mughirah kembali dan mengatakan dihadapan kaumnya: ”Itu semua tidak lain adalah sihir yang dipelajari dari orang-orang dahulu!”. Bukankah kalian mengatakan bahwa ucapan Muhammad dapat memisahkan seseorang dengan keluarganya, suami dengan istrinya dan orangtua dengan anak-anaknya?”
Dalam kasus pertama, Si Badui yang kencing di dalam masjid oleh Rasulullah dianggap sebagai kejahilan kecil, karena dilakukan oleh orang awam yang tidak tahu ajaran Islam. Karena itu ketika Umar bermaksud menggunakan kekerasan padanya, Rasulullah mencegahnya. Kejahilan seperti ini dapat ditolelir. Kelak Si Badui yang jahil itu akan berubah  setelah diberikan penjelasan atau diberi contoh yang benar.
Sedangkan kejahilan kedua, yang dilakukan oleh para cendikiawan dan pembesar Qurays, merupakan kejahilan besar yang tidak dapat ditolelir. Mereka bukan orang-orang awam yang bodoh, tapi orang-orang cerdas dan mampu memahami yang benar dari yang salah.
Merekapun tahu bahwa sesungguhnya al Qur’an itu adalah kebenaran dari Allah, bukan kata-kata Muhammad, tetapi  berpaling dan mengingkarinya. Bahkan mereka mempengaruhi orang lain untuk mengingkarinya, dengan berbagai hujjah yang dibuat-buat.
Orang-orang seperti inilah yang sesat dan menyesatkan. Karena itu kelompok ini tidak dapat dimaafkan oleh Allah SWT, sehingga pengingkaran serta kesombongan mereka diabadikan dalam Al-Qur’an, sebagai pelajaran bagi ummat setelahnya (QS. Al-Mudattsir: 18-25)

Hikmah
Problema yang dihadapi ummat Islam hari ini sesungguhnya tidak lepas dari dua model kejahilan ini. Di satu sisi masih banyak kita temukan orang yang kurang memahami ajaran Islam, sehingga mereka melakukan hal-hal yang dilarang serta meninggalkan yang diperintahkan. Atau melakukan hal-hal yang mereka sangka sebagai ajaran Islam padahal bukan.
Maraknya kesyirikan, khurafat serta amalan-amalan bid’ah dan sejenisnya. Di sisi lain dewasa ini juga tidak sedikit yang termasuk dalam kategori kaum cendikiawan yang mempelajari Islam, tetapi mereka memiliki pemikiran yang menyimpang dari prinsip-prinsip Islam yang telah disepakati oleh salafus shaleh dan ulama-ulama Islam.
Jangan heran, banyak orang berilmu --bahkan dari kampus dan perguruan tinggi Islam-- namun mereka menggugat kebenaran Islam. Mereka menggugat kebenaran al-Qur’an dan al-Hadits. Mereka menganggap Rasulullah SAW seperti manusia pada umumnya, dengan logika berfikir mereka yang menyesatkan itu.
Mereka meragukan dan mempertanyakan apa yang dilakukan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, bahkan mereka mengkritik ulama-ulama shalih, seolah apa yang dilakukan pewaris Nabi itu keliru atau bias. Mereka meragukan keputusan Nabi, Sahabat dan para ulama dengan logika dan HAM. Inilah kejahilan modern yang sangat membahayakan bagi masa depan aqidah generasi Muslim.
Walaupun kedua bentuk kejahilan diatas sama-sama membuat kerusakan; tetapi kejahilan yang dilakukan oleh orang-orang pandai dan penguasa menciptakan kerusakan yang jauh lebih dahsyat bahayanya bagi keimanan, kehidupan dan kemanusiaan. Inilah tantangan berat bagi kita semua untuk mencegahnya. Marilah kita jaga anak-cucu kita dari dua kejahilan ini. Wallahu a’lam bis-shawab.
website : http://www.hidayatullah.com/
Read more

0 Muhammad, Sang Pengusaha Sukses

TRADISI ritual peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan Maulid Nabi sudah menjadi budaya keagamaan di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan Maulid Nabi sudah dijadikan sebagai hari besar di negeri ini, yang berarti adalah hari libur nasional.
Bulan ini, tepatnya 15 Februari 2011, adalah tepat 12 Rabiul Awwal 1432 H pada penanggalan Islam (Hijriah) adalah hari kelahiran seorang Manusia Agung bernama Muhammad pembawa agama perdamaian untuk seluruh umat manusia.
Kelahiran Nabi sebenarnya tidak termasuk hari besar jika dilihat dari pandangan al-Qur’an dan al-Hadist. Namun, biasanya, peringatan Maulid Nabi dimaksudkan sebagai momentum untuk mempelajari dan merenungi kembali perjalanan hidup beliau sebagai seorang Rasul sekaligus sebagai manusia biasa yang sukses dalam berbagai sisi kehidupan.
Rasulullah adalah potret pribadi sukses dalam menjalani kehidupan yang harus menjadi panutan bagi umat manusia.
Sirah Nabi adalah living model yang diinginkan Allah untuk diimplementasikan oleh tiap pribadi muslim sejati. Jadi perayaan Maulid Nabi bukan sekedar kegembiraan atas kehadiran beliau dalam sejarah tapi yang lebih penting dari semua itu adalah bagaimana memahami perjalanan hidup beliau secara utuh, sempurna dan menyeluruh sehingga menjadi panutan dalam membangun peradaban umat manusia.
Dengan momentum Maulid Nabi ini, penulis ingin menghadirkan satu dimensi kehidupan Rasulullah yang jarang dibahas oleh para da’i dan muballig yaitu kesuksesan Muhammad sebagai seorang pedagang. Muhammad bukan hanya sukses dalam berdakwah, memimpin negara dan rumah tangga tapi juga sukses dalam membangun usaha. Muhammad bukan hanya disegani sebagai pemuka agama dan pemimpin negara tapi juga disegani sebagai saorang saudagar yang memiliki jangkauan jaringan bisnis dan pangsa pasar yang luas serta pelanggang yang banyak.
Muhammad sebagai pemimpin bisnis dan entrepreunership dijelaskan secara gamblang di dalam buku Dr. Syafi’i Antonio dengan judul “Muhammad SAW Super Leader Super Manager”. Buku tersebut menguraikan bahwa masa berbisnis Muhammad yang mulai dengan intership (magang), business manager, investment manager, business owner dan berakhir sebagai investor relative lebih lama (25 tahun) dibandingkan dengan masa kenabiannya (23 tahun). Nabi Muhammad bukan hanya figur yang mendakwakan pentingnya etika dalam berbisnis tapi juga terjun langsung dalam aktifitas bisnis.
Sang manager
Sejak kecil tepatnya saat berumur 12 tahun, Muhammad sudah diperkenalkan tentang bisnis oleh pamannya, Abu Thalib, dengan cara diikutsertakan dalam perjalanan bisnis ke Suriah.
Pengalaman perdagangan (magang) yang diperoleh Muhammad dari pamannya selama beberapa tahun manjadi modal dasar baginya disaat memutuskan untuk menjadi pengusaha muda di Mekah. Beliau merintis usahanya dengan berdagang kecil-kecilan di sekitar Ka’bah.
Dengan modal pengalaman yang ada disertai kejujuran dalam menjalankan usaha bisnisnya, nama Muhammad mulai dikenal dikalangan pelaku bisnis (investor) di Mekah.
Dalam kurung waktu yang tidak cukup lama, Muhammad mulai menampakkan kelihaiannya dalam menjalankan usaha perdagangan bahkan beberapa investor Mekah tertarik untuk mempercayakan modalnya untuk dikelolah oleh Muhammad dengan prinsip bagi hasil (musyarakah-mudharabah) maupun penggajian. Pada tahapan ini Muhammad telah beralih dari business manager (mengelola usahanya sendiri) menjadi investment manager (mengelola modal investor).
Dengan modal yang sudah relatif besar, Muhammad memiliki kesempatan untuk ekspansi bisnis untuk menjangkau pusat perdagangan yang ada di Jazirah Arab. Kejujuran beliau dalam berbisnis sehingga dikenal olah para pelaku bisnis sebagai Al-Amin menjadi daya tarik bagi kalangan investor besar untuk menginvestasikan modalnya kepada Muhammad, salah satu di antaranya adalah Khadijah yang di kemudian hari menjadi Istri pertama beliau.
Di usia 25 tahun, usia yang masih rekatif mudah, Muhammad menikah dengan Khadijah, seorang pengusaha sukses Mekah. Secara otomatis Muhammad menjadi pemilik sekaligus pengelola dari kekayaan Khadijah. Penggabungan dua kekayaan melalui pernikahan tersebut tentunya semakin menambah usaha perdagangan mereka baik secara modal maupun penguasaan pangsa pasar. Pada tahapan ini Muhammad sudah menjadi business owner.
Setelah Muhammad menikah dengan Khadijah, beliau semakin gencar mengembangkan bisnisnya melalui dengan ekspedisi bisnis secara rutin di pusat-pusat perdagangan yang ada di jazirah Arab, beliau intens mengunjungi pasar-pasar regional maupun Internasional demi mempertahankan pelanggan dan mitra bisnisnya. Jaringan perdagangan beliau telah mencapai Yaman, Suriah, Busara, Iraq, Yordania, Bahrain dan kota-kota perdagangan Arab lainnya.
Saat menjelang masa kenabian (berumur 38 tahun) di mana waktunya banyak dihabiskan untuk merenung beliau telah sukses menjadi pedagang regional dimana wilayah perdagangannya meliputi Yaman, Suriah, Busra, Iraq, Yordania, Bahrain dan kota-kota perdagangan Jazirah Arab lainnya. Pada tahapan in beliau telah memasuki fase yang menurut Robert T Kiyosaki disebut financial freedom.
Kehebatan berbisnis Muhammad bisa dilihat dalam sebuah riwayat yang menceritakan bahwa beliau pernah menerima utusan dari Bahrain, Muhammad menanyakan kepada Al-Ashajj berbagai hal dan orang-orang yang terkemuka serta kota-kota yang terkemuka di Bahrain. Pemimpin kabilah tersebut sangat terkejut atas luasnya pengetahuan geografis serta sentral-sentral komersial Muhammad. Kemudian al-Ashajj berkata “sungguh Anda lebih mengetahu tentang negeri saya daripada saya sendiri dan anda pula lebih banyak mengetahui pusat-pusat bisnis kota saya dibanding apa yang saya ketahu. Muhammad menjawab “saya telah diberi kesempatan untuk menjelajahi negeri anda dan saya telah melakukannya dengan baik.” (Syafi’i Antonio, 2007).
Demikianlah perjalanan sukses bisnis Muhammad sebelum resmi menjadi seorang Nabi yang jarang disampaikan kepada generasi-generasi muda di saat perayaan Maulid Nabi. Pemahaman yang utuh tentang biography kehidupan beliau akan menghindarkan terjadinya pemahaman yang sempit tentang diri Rasulullah. Banyak orang yang mengaggap Rasulullah sebagai orang yang miskin padahal justru sebaliknya beliau adalah sosok pebisnis yang sukses.
Melalui momentum Maulid Nabi ini kiranya perlu mengangkat tema kesuksesan Muhammad sebagai pelaku bisnis demi memacu munculnya pengusaha-pengusaha muda di kalangan Muslim. Sebenarnya negeri ini memiliki tokoh-tokoh agama sekaligus pengusaha sukses, sebut saja misalnya, tokoh nasional K.H. Ahmad Dahlan dengan usaha batiknya. Bahkan dalam sejarah gerakan kemerdekaan Indonesia kita mengenal tokoh-tokoh agama yang terhimpun dalam Syarikat Dagang Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui jumlah wirausahawan di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara maju di dunia. Dari total penduduk Indonesia, 231, 83 juta jiwa hanya sekitar 2 persen saja yang berwirausaha atau sebesar 4, 6 juta. Tentunya jumlah ini sangat kecil sekali jika negeri ini menginginkan penduduknya untuk semakin kuat dan mandiri secara ekonomi.
Negara-negara maju relative memiliki persentasi wirausahawan yang relatif tinggi dari jumlah penduduknya. Persentase penduduk Singapura yang berwirausaha mencapai 7 persen, China dan Jepang 10 persen dari total jumlah penduduk mereka. Sedangkan yang tertinggi adalah Amerika Serikat sebesar 11, 5-12 persen.
Melalui perayaan Maulid Nabi ini, kita perlu mengkampanyeka pentingnya berwirausaha seperti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan umat yaitu kemiskinan dan pengangguran. [Ali Rama, Peneliti ISEFID (Islamic Economic Forum for Indonesia Development)]
Read more

0 Meraih Kebahagiaan Hidup

kebahagiaan hidup atau kehidupan yang baik.
Namun pandangan masing-masing orang tentang kebahagiaan hidup itu berbeda-beda. Sebagian orang ada yang memandang bahwa ukuran kebahagiaan adalah keberhasilan dalam meraih dunia dengan segala kelezatan hidupnya. Padahal tidaklah demikian hakikatnya.
Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” [Ali 'Imran: 14]
Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):
“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” [Ar-Ra'd: 26]

Inilah segolongan manusia yang sempit akal dan pandangannya. Mereka merasa heran dan kagum dengan kehidupan dunia dan mencukupkan semangat dirinya terhadap kehidupan dunia. Keadaan mereka yang seperti ini disebabkan oleh:
1.          Tidak ada pada dirinya keimanan kepada akhirat.
2.          Atau beriman kepada akhirat namun tersibukkan dirinya dengan urusan dunia.
Sehingga kehidupannya adalah kehidupan yang rugi dan celaka, walaupun ia diberikan kemudahan oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala untuk meraih harta, perhiasan dan berbagai kelezatan dunia, namun hakikatnya dia sedang mengalami istidraj (keleluasaan) dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Kemudian ia akan mengalami kerugian yang abadi.
Sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (artinya):
“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.” [At-Taubah: 55]
Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan tentang ayat di atas: “Janganlah kamu tertipu terhadap harta benda dan anak-anak (yang Allah berikan kepada) orang kafir di kehidupan dunia, hanya saja Allah menghendaki yang demikian, agar Dia mengadzab mereka di akhirat kelak.” Inilah yang dinamakan dengan istidraj. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” [Al Mu'minun: 55-56]
Allah Subhanallahu wa Ta’ala memberikan dunia kepada siapa saja yang Allah cintai dan yang tidak Allah cintai. Namun, tidaklah Allah memberikan agama ini, kecuali kepada siapa yang Allah Subhanallahu wa Ta’ala cintai. Sebesar apapun seseorang diberikan kekayaan dunia, niscaya lambat laun ia yang akan meninggalkan dunia atau dunia yang akan meninggalkannya.
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Al Hadid: 20]
Mencari dunia terkait dengan kebutuhan hidup adalah sesuatu yang mulia jika dilakukan dalam rangka membantunya untuk taat kepada Allah. Karena dunia adalah ladang beramal untuk kehidupan di akhirat. Hanya saja, sikap yang tercela adalah menjadikan semangatnya yang tinggi untuk meraih dunia. Sehingga tidaklah ia mengarahkan pandangannya kecuali kepada dunia. Tidak peduli darimana ia mendapatkan harta dengan cara yang halal ataukah haram? Dialah sahabat dunia, yang telah menjadikan dunia sebagai tujuan utama dan semangat yang tinggi untuk mendapatkannya, dengan persangkaan bahwa dengannya akan tercapai kebahagiaan hidup.
Adapula yang memandang bahwa kebahagiaan hidup hanya bisa diraih dengan iman dan amal shalih dengan tetap mencari apa yang dibutuhkan dalam kehidupan dunia ini. Mereka mengatakan dalam doanya: “Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan akhirat dan lindungilah kami dari adzab neraka.” Mereka menggabungkan dalam doa mereka agar Allah memberikan kepada mereka kebaikan di dunia dan akhirat. Merekalah orang-orang yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [An Nahl: 97]
Barangsiapa yang beramal shalih baik dari kalangan laki-laki atau perempuan dalam keadaan iman, maka Allah akan memberikan kepadanya kebahagiaaan hidup. Di dunia ia merasakan kebahagiaan hidup diatas iman, hatinya tenang, lapang dan senang. Mereka hidup dalam keadaan berzikir kepada Allah, merasakan kenikmatan dalam beribadah kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Kemudian di akhirat, Allah Subhanallahu wa Ta’ala akan memasukkan mereka ke dalam surga dan merasakan kelezatan di dalamnya, merasakan kenikmatan abadi yang tidak akan pernah terputus selama-lamanya. Tidak merasakan di dalamnya rasa sakit, takut kepada musuh, tidak ada perasaan gelisah yang menghantuinya, tidak ada dalam hatinya penyakit-penyakit hati, tidak akan pernah merasakan kematian dan sebagainya. Demikianlah ahlul jannah (penduduk surga), mereka merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki.
Ibnu Taimiyah berkata: “Kebaikan, kebahagiaan, kesempurnaan, dan kedamaian, akan tercapai dengan dua hal: ilmu yang bermanfaat, dan amalan shalih.” (Majmu’ Al-Fatawa, 19/169)
Apabila engkau ingin merasakan kebahagiaan hidup, maka wajib bagimu untuk beramal shalih selama hidupmu. Carilah dunia yang akan membantumu untuk memperoleh akhirat. Carilah dunia secukupnya sekedar membantumu taat kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala.
Tips Meraih Ketenangan Hati
Melihat realita yang ada, beberapa orang yang notabene merupakan orang-orang yang terbilang sukses dalam dunianya dan memiliki kedudukan di mata publik, mereka menjadi pasien rohani di beberapa pondok pesantren. Kerasnya roda kehidupan dan jauhnya diri dari norma Islam yang benar, telah membuat hati mereka kering, sesak, risau, dan selalu didera rasa takut. Mereka tidak merasakan ketenangan hati dan seakan seperti terkucilkan dari pergaulan, sehingga membuat mereka stress, dan bahkan sampai membawa kepada perbuatan yang dilarang oleh agama yaitu bunuh diri. Demikianlah, wahai pembaca, kenyataan yang cukup memilukan. Oleh karena itu, sebagai bentuk kepedulian terhadap saudara-saudara kita yang mengalami musibah ini, kami nukilkan disini beberapa tips yang sangat mudah untuk diamalkan dalam meraih ketenangan hati. Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam kitabnya “Al-Wasa`il Al-Mufidah lil Hayat As-Sa’idah”:
“Sesungguhnya kelapangan, ketenangan dan kegembiraan hati serta jauhnya hati dari perasaan sedih serta gundah gulana merupakan diantara sebab yang akan mengantarkan seseorang untuk meraih kebahagian hidup.”
“Sedangkan sebab terbesar untuk meraih kebahagiaan hidup adalah keimanan dan amalan shalih. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [An Nahl: 97] (Lihat Al-Wasa`il Al-Mufidah lil Hayat As-Sa’idah, hal. 4)
Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah memberikan kabar gembira dan janji mulia kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih berupa kebahagiaan hidup. Di dunia berupa ketenangan hati dan ketentraman jiwa serta anugerah dalam bentuk rezeki yang halal dari arah yang tidak disangka-sangka. Di akhirat dia akan mendapatkan kenikmatan yang belum pernah terlihat oleh mata, dan belum pernah terdengar oleh telinga serta belum pernah terbetik dalam hati seorang hamba, yaitu kenikmatan surga.
Dua hal pokok yaitu iman dan amalan shalih merupakan sebab terbesar untuk meraih kebahagiaan hidup. Karena seorang yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, akan membuahkan amalan yang shalih, yang akan memperbaiki hati, akhlak, dan kehidupannya di dunia dan di akhirat.
Beberapa hal yang perlu diamalkan dalam meraih ketenangan hati, disamping yang telah disebutkan di atas, adalah:
1.          Memperbanyak dzikir kepada Allah.
2.          Menyebut-nyebut kenikmatan yang Allah karuniakan dengan lisannya.
3.          Mengambil pelajaran dari kondisi orang yang di bawahnya dalam hal kenikmatan.
4.          Berbuat baik kepada sesama makhluk dengan ucapan, perbuatan dan segala macam kebaikan.
5.          Berkonsentrasi dalam melakukan amalan yang dilakukan pada hari ini dan jangan terlalu memikirkan (risau) terhadap waktu yang akan datang serta tidak boleh bersedih dari waktu yang telah berlalu.
6.          Berusaha untuk menolak sebab-sebab yang mendatangkan kesedihan, gundah-gulana dan yang semacamnya dengan cara melupakan segala pengalaman pahit yang pernah terjadi.
7.          Banyak berdoa kepada Allah agar diringankan segalal beban dunia dan diperbaiki segala urusan.
8.          Menyandarkan hati hanya kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya.
Untuk lebih rincinya, silakan membaca kitab Al-Wasail Al-Mufidah lil Hayat As-Saidah karya Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Wallahu Ta’ala A’lam.
Sumber: Buletin Islam AL ILMU Edisi:5/II/IX/1432
Read more

0 Perbaikilah Syahadat Anda!

IBARAT sebuah bangunan, syahadat adalah pondasi. Bangunan tanpa pondasi akan mudah roboh oleh serangan badai. Musim hujan tidak bisa dijadikan tempat berteduh. Dan pada musim kemarau tidak bisa dijadikan untuk melindungi diri dari sengatan sinar matahari. Keislaman seseorang tanpa pondasi iman yang kokoh tidak mampu mengubah pola pikir dan sikap mental seseorang. Syahadat akan menjadikan aktivitas keislaman kita melahirkan ruhul jihad.

Tuntutan syahadat adalah amanah yang berat dipikul secara fisik dan rohani. Musa ketika bertanya kepada Allah tentang syahadat, Allah menjawab bahwa seandainya syahadat dalam satu timbangan dan langit, bumi dan seisinya ditambah tujuh langit pada timbangan yang lain, maka tidak akan cukup menyamai beratnya timbangan Kalimah Tauhid itu.

Syahadat identik dengan sebuah komitmen, persaksian, baiat, dan janji setia. Syahadat adalah refleksi dan aktualisasi iman. Bukan sebatas SK, MoU. Dengan mengucapkan kalimat syahadat berarti seseorang telah mengikat janji dengan Allah, bersumpah, dan hanya siap secara lahir dan batin untuk diatur oleh syariat-Nya.
Ada beberapa implikasi jika seorang telah mengucapkan syahadat. Diantaranya adalah;
  • .       Syahadat juga sebagai bukti pengakuan terhadap keesaan Allah saja.
  • ·       Mengakui Allah Sebagai Pencipta ( QS, Al Anam : 102, QS. Al Mukmin : 43).
  • ·       Tidak ada pemberi rezeki selain Allah ( QS. Hud : 6, QS. Fathir : 3).
  • ·       Merasa tidak ada yang memberi manfaat dan madharat selain Allah (QS. Al Anam : 17, QS. Al Maidah : 76, QS. Yunus : 107).
  • ·       Tidak ada yang mengatur alam semesta selain Allah (QS. As Sajdah : 5). Tidak ada yang menjadi pelindung selain Allah (QS. Al Baqoroh : 257, QS. Al Maidah : 55).
  • ·       Tidak ada yang berhak menentukan hukum selain Allah (QS. Al Anam : 57,114, QS. Yusuf : 40).
  • ·       Tidak ada yang berhak memerintah dan melarang selain Allah (QS.Al Araf : 54).
  • ·       Tidak ada yang berhak menentukan undang-undang selain Allah (QS. Asy Syura : 21).
  • ·       Tidak ada yang berhak ditaati selain Allah (QS. Ali Imran : 32, 132). Semuanya itu tersimpul,  tidak ada yang berhak disembah puja (diibadahi) selain Allah (QS. Thoha : 14).
  • ·       Janji setia ini harus didahulukan dengan ikhlas, ilmu, yakin, benar dan dengan penuh mahabbah sebelum terikat dengan janji-janji yang lain.
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian dari dulu. Dan (begitu pula) dalam (al Quran) ini supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu menjadi saksi atas segenap manusia.” (QS. Al Hajj (22) : 78).

Karena sebuah perjanjian kepada Allah, maka ia harus dinomorsatukan. Sebab tiada yang paling penting dalam kehidupan ini selain Allah. Perjanjian kepada Allah kita junjung tinggi; yang pertama dan yang terakhir. Allah adalah penentu kehidupan ini. Dialah yang menguasai ubun-ubun kita. Sekalipun besar pengaruh kekuasaan, kekayaan, kepandaian seseorang tidak akan mampu menolak fenomena penciptaan dari-Nya. Siapa yang bisa menolak proses kejadian manusia, dimulai pada masa menjadi janin, masa kanak-kanak, masa muda, masa dewasa, masa tua (beruban), datangnya musibah dan kematian? Allah tempat bergantung semua makhluk di dunia ini.

Tuhan kata Dr. Imaduddin Abdul Rahim (alm) adalah sesuatu yang mendominasi kita sedemikian rupa, dan kita siap dihegemoni oleh sesuatu itu. Jika kekuasaan, harta, wanita mendominasi diri kita sehingga  kita rela berkorban apa saja yang kita miliki selama 24 jam untuk meraihnya dan melupakan yang lain, berarti ketiganya adalah Tuhan kita.

Semua bentuk perjanjian yang lain harus diklarifikasi terlebih dahulu. Boleh kita berjanji dengan isteri kita, tetapi janji itu sifatnya relatif, bersyarat, yaitu dalam kerangka penegakan syariat Islam di lingkungan keluarga. Sehingga pernikahan antara dua anak Adam akan menambah kekuatan, kejayaan Islam dan kaum muslimin. Jika ikatan kekeluargaan antara suami isteri hanya memenuhi kebutuhan biologis semata, apalagi dalam prosesi pelaksanaannya tidak mengindahkan nilai-nilai Islam, maka ikatan demikian adalah haram hukumnya.

Rasulullah Saw. Bersabda: “Tidak ada seorang pun yang mentaati apa-apa yang diinginkan oleh (hawa nafsu) seorang istri, melainkan pasti Allah akan membenamkan ke dalam neraka.”

Demikian pula dalam kerjasama bisnis, jangan sampai bersebrangan dengan janji dengan Allah. Kita dituntut teliti apakah ada pasal-pasal tertentu yang menyalahi syariat? Jika perjanjian tersebut menguntungkan Islam, tidak menjadi masalah. Tetapi jika melecehkan harga diri kaum muslimin, maka harus dibatalkan sekalipun menjanjikan keuntungan milyaran rupiah.

Dalam bidang politik kita tidak dilarang untuk membangun koalisi, aliansi, kaukus politik dengan aliran, organisasi, intitusi, kelompok,  perkumpulan apa saja dengan syarat mengikuti aturan main yang islami. Menjunjung tinggi nilai keadilan, persatuan, supremasi hukum, dan nilai-nilai moral sebagai panglima. Kita dilarang untuk mengadakan konspirasi jahat. Bekerjasama dalam kebatilan dan kerendahan akhlak.

“Dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya.”
(QS. Al Maidah (5) : 2).

Ibnu Jarir mengomentari ayat ini ‘ al Istmu’ artinya meninggalkan apa yang diperintahkan untuk dilaksanakan, dan kalimat ‘al ‘Udwan’ artinya melampau batas terhadap ketentuan Allah dalam agamamu dan melangkahi apa yang difardhukan atas dirimu dan selainmu (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir I, hal. 478).

Berkaitan dengan ayat ini, Rasulullah Saw. bersabda : “Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim dan yang dizhalimi, dikatakan: Ya Rasulullah, ini saya menolongnya yang terzhalimi, bagaimana saya menolongnya jika ia berbuat zhalim? Ia menjawab: engkau cegah dan halangi dari perbuatan zhalim, maka itulah menolongnya.”  (HR. Bukhari dan Ahmad dari Anas bin Malik).

Berkata Ahmad dari Yahya bin Witsab - ada seorang lelaki dari sahabat Nabi saw- berkata: seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan, mereka lebih besar pahalanya dari orang yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka.

Dengan syahadat sesungguhnya kita tidak memiliki hak apapun terhadap diri kita. Semuanya telah kita jual dan kita wakafkan kepada Allah. Maka jika kita ingin membangun sebuah ikatan, apapun bentuknya dan dengan pihak manapun, dengan syarat tidak menodai komitmen keislaman, syahadat kita. Harus izin kepada pemilik diri kita, Allah SWT.

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al Anam (6) : 162).

Janji yang kita ulang-ulang lebih dari 17 kali di atas tidak boleh kita khianati. Kita dituntut konsisten, komitmen dan konsekuen terhadap janji yang telah kita ikrarkan. Jika janji kepada Allah saja berani kita dilanggar, apalagi janji yang kita ucapkan kepada makhluk-Nya?

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
(QS. Al Anfal (8) : 27).

Ketika bersyahadat maka pada saat itu kita harus bangga sebagai muslim. Identitas sebagai muslim harus melekat pada diri kita di mana saja dan kapan saja. Islam adalah darah daging kita.  Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang muslim (QS. Ali Imaran (3) : 64).

Syahadat kita nyatakan sejak awal keislaman kita dan kita pertahankan sampai akhir hayat kita.  Inilah yang dinamakan istiqomah. Istiqomah berarti tegak lurus pada garis yang ditetapkan oleh Allah. Ibarat kereta api, istiqomah adalah melewati rel yang ada, bergesar sedikit akan fatal akibatnya.

“Inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan kepadamu agar kamu bertaqwa.”
(QS. Al Anam (6) : 153).

Dari Ibnu Masud berkata (mengomentari ayat di atas):  Pada suatu hari Rasulullah saw membuat garis untuk kita, kemudian bersabda: ini jalan Allah, kemudian membuat garis dari arah kanan dan kirinya kemudian bersabda:  inilah jalan-jalan, setiap jalan darinya ada syetan yang mengajak menuju ke arah jalan itu kemudian beliau membaca ayat sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus maka ikutilah jalan itu (shafwatut Tafasir I, hal. 429).

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil persaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”
(QS. Al A’raf (7) : 172).

Firman Allah Swt diatas menerangkan bahwa janji setia, syahadat, baiat untuk loyal kepada Allah, sesungguhnya telah diikrarkan oleh  semua calon manusia kepada Allah sejak di alam rahim. Jawaban terhadap tawaran Allah begitu mantap, karena pada saat itu keindahan, kekuasaan Allah tidak tertandingi oleh yang lain. Bertuhan inheren dengan fitrah manusia (sesuatu yang melekat pada dirinya sejak lahir).

Dengan demikian, komitmen bersyahadat harus kita introdusir secara terus-menerus, agar kesadaran hanya Allah yang dijadikan tumpuhan harapan dalam kehidupan ini tidak luntur. Perbaharuilah syahadatmu dengan (mengucapkan) Laa ilaaha illallah kembali jika persaksianmu dengan Allah jika dinilai mulai melenceng!
Read more
 
Powered by Blogger